Minggu, 22 Juli 2012
Nikmatnya Rasa Sakit
                     Nikmatnya Rasa Sakit  
Rasa sakit tidak selamanya tak berharga, sehingga harus selalu dibenci. 
Sebab, mungkin saja rasa sakit itu justru akan mendatangkan kebaikan 
bagi seseorang. 
Bisanya, ketulusan sebuah doa muncul tatkala rasa sakit mendera. 
Demikian pula dengan ketulusan tasbih yang senantiasa terucap saat rasa 
sakit terasa. Adalah jerih payah dan beban berat saat menuntut ilmulah 
yang telah mengantarkan seorang pelajar menjadi ilmuwan terkemuka. la 
telah bersusah payah di awal perjalanannya, sehingga ia bisa menikmati 
kesenangan di akhirnya. Usaha keras seorang penyair memilih kata-kata 
untuk bait-bait syairnya telah menghasilkan sebuah karya sastra yang sangat 
menawan. Ia, dengan hati, urat syaraf, dan darahnya, telah larut bersama 
kerja kerasnya itu, sehingga syair- syairnya mampu menggerakkan perasaan 
dan menggoncangkan hati. Upaya keras seorang penulis telah menghasilkan 
tulisan yang sangat menarik dan penuh dengan 'ibrah, contoh-contoh dan 
petunjuk. 
Lain halnya dengan seorang pelajar yang senang hidup foya-foya, tidak 
aktif, tak pernah terbelit masalah, dan tidak pula pernah tertimpa musibah. la akan selalu menjadi orang yang malas, enggan bergerak, dan mudah 
putus asa. 
Seorang penyair yang tidak pernah merasakan pahitnya berusaha dan 
tidak pernah mereguk pahitnya hidup, maka untaian qasidah-qasidah-nya 
hanya akan terasa seperti kumpulan kata-kata murahan yang tak bernilai. 
Sebab, qasidah-qasidah-nya hanya keluar dari lisannya, bukan dari 
perasaannya. Apa yang dia utarakan hanya sebatas penalarannya saja, dan 
bukan dari hati nuraninya. 
Contoh pola kehidupan yang paling baik adalah kehidupan kaum 
mukminin generasi awal. Yaitu, mereka yang hidup pada masa-masa awal 
kerasulan, lahirnya agama, dan di awal masa perutusan. Mereka adalah 
orang-orang yang memiliki keimanan yang kokoh, hati yang baik, bahasa 
yang bersahaja, dan ilmu yang luas. Mereka merasakan keras dan pedihnya 
kehidupan. Mereka pernah merasa kelaparan, miskin, diusir, disakiti, dan 
harus rela meninggalkan semua yang dicintai, disiksa, bahkan dibunuh. 
Dan karena semua itu pula mereka menjadi orang-orang pilihan. Mereka 
menjadi tanda kesucian, panji kebajikan, dan simbol pengorbanan. 
{Yang demikian jtu ialah karena mereka ditimpa kehausan, kepayahan dan 
kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang 
membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana 
kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu 
suatu amal salih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang 
yang berbuat baik.} 
(QS. At-Taubah: 120) 
Di dunia ini banyak orang yang berhasil mempersembahkan karya 
terbaiknya dikarenakan mau bersusah payah. Al Mutanabbi, misalnya, ia 
sempat mengidap rasa demam yang amat sangat sebelum berhasil 
menciptakan syair yang indah berikut ini: 
Wanita yang mengunjungiku seperti memendam malu, 
ia hanya mengunjungiku di gelapnya malam 
Syahdan, an-Nabighah sempat diancam akan dibunuh oleh Nu'man 
ibn al-Mundzir sebelum akhirnya mempersembahkan bait syair berikut ini: 
Engkau matahari, dan raja-raja yang lain bintang-bintang 
tatkala engkau terbit ke permukaan, 
bintang-bintang itu pun lenyap tenggelam 
Di dunia ini, banyak orang yang kaya karena terlebih dahulu bersusah 
payah dalam masa mudanya. Oleh karena itu, tak usah bersedih bila Anda 
harus bersusah payah, dan tak usah takut dengan beban hidup, sebab 
mungkin saja beban hidup itu akan menjadi kekuatan bagimu serta akan menjadi sebuah kenikmatan pada suatu hari nanti. Jika Anda hidup dengan 
hati yang berkobar, cinta yang membara dan jiwa yang bergelora, akan lebih 
baik dan lebih terhormat daripada harus hidup dengan perasaan yang dingin, 
semangat yang layu, dan jiwa yang lemah. 
{Tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan 
keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka: "Tinggallah kamu bersama 
orang-orang yang tinggal itu."} 
(QS. At-Taubah: 46) 
Saya teringat seorang penyair yang senantiasa menjalani kesengsaraan 
hidup, menanggung cobaan yang tidak ringan, dan mengenyam pahitnya 
perpisahan. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, ia sempat 
melantunkan qasidah yang indah, segar, dan jujur. Dialah Malik ibn ar-Rayyib. 
Ia meratapi dirinya: 
Tidakkah kau lihat aku menjual kesesatan dengan hidayah 
dan aku menjadi seorang pasukan Ibnu Affan yang berperang 
Alangkah indahnya aku, tatkala aku biarkan anak-anakku 
taat dengan mengorbankan kebun dan semua harta-hartaku 
Wahai kedua sahabat perjalananku, kematian semakin dekat 
berhentilah di tempat tinggi sebab aku akan tinggal malam ini 
Tinggallah bersamaku malam ini atau setidaknya malam ini 
jangan kau buat lari ia, telah jelas yang akan menimpa 
Goreslah tempat tidurku dengan ujung gerigi 
dan kembalikan ke depan mataku kelebihan selendangku 
Jangan kau iri, semoga Allah memberkahi kau berdua 
dari tanah yang demikian lebar, semoga semakin luas untukku 
Demikianlah, ungkapan-ungkapannya demikian syahdu, penyesalan yang 
sangat berat diucapkan, dan teriakan yang memilukan. Itu semua 
menggambarkan betapa kepedihan itu meluap dari hati sang penyair yang 
mengalami sendiri kepedihan dan kesengsaraan hidup. Ia tak ubahnya seorang 
penasehat yang juga pernah merasakan apa yang ia ucapkan. Dan, biasanya, 
perkataan atau nasehat orang seperti itu akan mudah masuk ke dalam relung 
kalbu dan meresap ke dalam ruh yang paling dalam. Semua itu adalah karena 
ia mengalami sendiri kehidupan pahit dan beban berat yang ia bicarakan. 
{Maka, Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan 
ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan 
yang dekat (waktunya).} 
(QS. Al-Fath: 18) 
Jangan cela orang yang sedang kasmaran 
hingga belitan keras deritamu berada dalam derita dirinya 
Saya banyak menjumpai syair-syair terasa sangat dingin, tidak hidup, 
dan tidak ada ruhnya. Itu, bisa jadi karena kata-kata yang teruntai dalam bait-bait tersebut bukan terbit dari sebuah pengalaman pribadi sang penyair, 
tetapi suatu dikarang dan direka-reka dalam aura kesenangan. Karya-karya 
yang demikian itu tak ubahnya dengan potongan-potongan es dan 
bongkahan-bongkahan tanah; dingin dan tawar. 
Saya juga pernah membaca karangan-karangan yang berisi nasehat-
nasehat yang sedikit pun tak mampu menggerakkan ujung rambut orang 
yang mendengarkannya dan tidak mampu menggerakkan satu titik atom 
pun dalam tubuhnya. Semua itu, tak lain karena nasehat-nasehat itu tidak 
terucap dari mulut seseorang yang langsung pernah mengalami dan 
menghayati sendiri suatu kesedihan dan kesengsaraan. 
{Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam 
hatinya.} 
(QS. Ali 'Imran: 167) 
Agar ucapan dan syair Anda dapat menyentuh hati pembacanya, 
masuklah terlebih dahulu ke dalamnya. Sentuhlah, rasakanlah dan resapilah 
niscaya Anda akan mampu memberikan sentuhan ke tengah masyarakat. 
{Kemudian, apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan 
suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.} 
(QS. Al-Hajj: 5)
Nikmatnya Rasa Sakit
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar