Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914
atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa
Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem.
Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau
hingga remaja, sebelum berganti menjadi AbdulHamid.
Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi,
seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.
Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert,
dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik
sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang
sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah
kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang
kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya
adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania
alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena
banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan
sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum
Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.
Kiai Hamid Pasuruan:
Kini Sulit Dicari Padanannya
Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi Abdul Hamid.
Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi Abdul Hamid.
Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali
panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.
Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert,
dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik
sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang
sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah
kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang
kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya
adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania
alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena
banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan
sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum
Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.
Ketika mulai beranjak remaja (ABG), dia mulai gemar belajar
kanoragan (semacam ilmu kesaktian). Belajarnya cukup intensif sehingga mencapai
taraf ilmu yang cukup tinggi. “Sampai bisa menangkap babi jadi-jadian,” tutur
KH. Zaki Ubaid Pasuruan.
Meski begitu, sejak kecil ia sudah menunjukkan tanda-tanda
bakal menjadi wali atau, setidaknya, orang besar. Ketika diajak kakeknya, KH.
Muhammad Shiddiq (Jember), pergi haji, Mu’thi bertemu dengan Rasulullah s.a.w.
Pada saat haji itulah namanya diganti menjadi Abdul Hamid.
Dipondokkan
Pada usia sekitar 12-13 tahun, Hamid dikirim ayahandanya,
K.H. Abdullah Umar, ke Pondok Kasingan, Rembang. Maksud ayahandanya, untuk meredam
kenakalannya. Dia tidak lama di pondok ini. Satu atau satu setengah tahun
kemudian dia pindah ke Pondok Tremas, Pacitan. Pondok pimpinan KH. Dimyathi ini
cukup besar dan berwibawa. Dari pondok ini terlahir banyak kiai besar. Di
antaranya adalah KH. Ali Ma’shum Jogjakarta (mantan rais am PB NU), KH. Masduqi
Lasem, KH. Abdul Ghofur Pasuruan, KH. Harun Banyuwangi, dan masih banyak lagi.
Walaupun kegemarannya bermain sepak bola masih berlanjut, di
pesantren ini beliau mulai mendapat gemblengan ilmu yang sebenarnya. Uang
kiriman orangtua yang hanya cukup untuk dipakai makan nasi thiwul tidak
membuatnya patah arang. Dia tetap betah tinggal di sana sampai 12 tahun, hingga
mencapai taraf keilmuan yang tinggi di berbagai bidang.
Tidak Suka Dipuja
Setelah 12 tahun belajar agama di Pondok Tremas, tokoh kita
itu dipinang oleh pamandanya, KH. Achmad Qusyairi, untuk dikawinkan dengan
putrinya, Nafisah.
Konon, Kiai Achmad pernah menerima pesan dari ayahandanya, KH. Muhammad Shiddiq, supaya mengambil Hamid sebagai menantu mengingat keistimewaan-keistimewaan yang tampak pada pemuda tersebut. Antara lain, saat pergi haji dulu, dia bisa berjumpa dengan Rasulullah s.a.w. Sayang, sang kakek tak sempat melihat pernikahan itu karena lebih dulu dipanggil Sang Mahakuasa.
Konon, Kiai Achmad pernah menerima pesan dari ayahandanya, KH. Muhammad Shiddiq, supaya mengambil Hamid sebagai menantu mengingat keistimewaan-keistimewaan yang tampak pada pemuda tersebut. Antara lain, saat pergi haji dulu, dia bisa berjumpa dengan Rasulullah s.a.w. Sayang, sang kakek tak sempat melihat pernikahan itu karena lebih dulu dipanggil Sang Mahakuasa.
Seperti disebut dalam surat undangan, akad nikah akan
dilangsungkan pada 12 September 1940 M, bertepatan dengan 9 Sya’ban 1359 H,
selepas zhuhur pukul 1 di Masjid Jami’ (sekarang Masjid Agung Al-Anwar)
Pasuruan. Namun, rencana tinggal rencana. Pada waktu yang ditentukan, para
undangan sudah berkumpul di Masjid Jami’, namun rombongan penganten pria tak
kunjung muncul hingga jam menunjuk pukul 2. Terpaksa acara melompat ke sesi
berikutnya, yaitu walimah di rumah Kiai Achmad Qusyairi di Kebonsari, di
kompleks Pesantren Salafiyah.
Di sana kembali orang-orang dibuat menunggu. Ternyata,
rombongan penganten pria baru datang sore hari, setelah acara walimah rampung
dan para undangan pulang semua. “Anu, penganten kuajak mampir ke makam (para
wali),” kata Kiai Ma’shum, yang dipercaya menjadi kepala rombongan. Apa boleh
buat, akad nikah pun dilangsungkan tanpa kehadiran undangan, dan hanya
disaksikan para handai tolan.
Sejak itu, Haji Abdul Hamid tinggal di rumah mertuanya. Lima
atau enam tahun kemudian, Kiai Achmad pindah ke Jember, lalu pindah ke
Glenmore, Banyuwangi. Tinggallah kini Kiai Hamid bersama istrinya harus
berjuang secara mandiri mengarungi samudera kehidupan dalam biduk rumah tangga
yang baru mereka bina. Untuk menghidupi diri dan keluarga, Kiai Hamid berusaha
apa saja. Dari jual beli sepeda, berdagang kelapa dan kedelai sampai menyewa
sawah dan berdagang spare part dokar.
Prihatin
Hari-hari mereka adalah hari-hari penuh keprihatinan. Makan
nasi dengan krupuk atau tempe panggang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Terkadang,
sarung yang sudah menerawang (karena usang) masih dipakai (dengan dilapisi kain
serban supaya warna kulitnya tidak kelihatan). Tapi, Kiai Hamid tak kenal putus
asa, terus berusaha dan berusaha.
Kala itu beliau belum terlibat dalam kegiatan Pesantren
Salafiyah, meski tinggal di kompleks pesantren. Di tengah hidup prihatin itu,
beliau mulai punya santri — dua orang — yang ditempatkan di sebuah gubuk di
halaman rumah. Beliau juga mulai menggelar pengajian di berbagai desa di
kabupaten Pasuruan: Rejoso, Ranggeh dan lain-lain.
Sekitar 1951, sepeninggal KH. Abdullah ibn Yasin yang jadi
nazhir (pengasuh) Pondok Salafiyah, beliau dipercaya sebagai guru besar pondok,
sementara KH. Aqib Yasin, adik Kiai Abdullah, menjadi nazhir. Meski demikian,
secara de facto, beliaulah yang memangku pondok itu, mengurusi segala tetek
bengek sehari-hari, day to day karena Kiai Aqib yang muda itu, masih belajar di
Lasem.
Fenomenal
Kiai Hamid benar-benar berangkat dari titik nol dalam
membina Pondok Salafiyah. Sebab, saat itu tidak ada santri. Para santri
sebelumnya tidak tahan dengan disiplin tinggi yang diterapkan Kiai Abdullah.
Walaupun tak ada promosi, satu demi satu santri mulai
berdatangan. Prosesnya sungguh natural, tanpa rekayasa. Perkembangannya memang
tidak bisa dibilang melesat cepat, tapi gerak itu pasti. Terus bergerak dan
bergerak hingga kamar-kamar yang ada tidak mencukupi untuk para santri dan
harus dibangun yang baru; hingga jumlah santrinya mencapai ratusan orang,
memenuhi ruang-ruang pondok yang lahannya tak bisa diperluas lagi karena
terhimpit rumah-rumah penduduk; hingga pada akhirnya, terdorong oleh
perkembangan zaman, fasilitas baru pun perlu disediakan, yaitu madrasah
klasikal.
Perkembangan fenomenal terjadi pada pribadi beliau. Dari
semula hanya dipanggil “haji” lalu diakui sebagai “kiai”, pengakuan masyarakat
semakin membesar dan membesar. Tamunya semakin lama semakin banyak. Terutama
setelah wafatnya Habib Ja’far As-Segaf (wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang
jadi guru spiritualnya) sekitar 1954, sinarnya semakin membesar dan membesar.
Kiai Hamid sendiri mulai diakui sebagai wali beberapa tahun kemudian, sekitar
awal 1960-an. Pengakuan akan kewalian itu kian meluas dan meluas, hingga
akhirnya mencapai taraf — meminjam istilah Gus Mus — “muttafaq ‘alaih”
(disepakati semua orang, termasuk di kalangan mereka yang selama ini tak mudah
mengakui kewalian seseorang).
Lurus
Lurus
Ketika Kiai Hamid mulai berkiprah di Pasuruan, tak sedikit
orang yang merasa tersaingi. Terutama ketika beliau menggelar pengajian di kampung-kampung.
Maklumlah, beliau seorang pendatang. Ada kiai setempat yang menuduh beliau
mencari pengaruh, dan menggerogoti santri mereka. Padahal, Kiai Hamid mengajar
di sana atas permintaan penduduk setempat.
Ibarat kata pepatah Jawa “Becik ketitik, ala ketara”, lambat
laun beliau dapat menghapus kesan itu. Bukan dengan rekayasa atau “politik
pencitraan” yang canggih, melainkan dengan perbuatan nyata. Dengan tetap
berjalan lurus, dan terutama dengan sikap tawadhu’, kehadiran beliau akhirnya
dapat diterima sepenuhnya. Bahkan mereka menaruh hormat pada beliau justru
karena sikap tawadhu’ itu.
Beliau memang rendah hati (tawadhu’). Kalau menghadiri suatu
acara, beliau memilih duduk di tempat “orang-orang biasa”, yaitu di belakang,
bukan di depan. “Kiai Hamid selalu ndepis (menyembunyikan diri) di pojok,” kata
Kiai Hasan Abdillah.
Hormat
Beliau bersikap hormat pada siapapun. Dari yang miskin
sampai yang kaya, dari yang jelata sampai yang berpangkat, semua dilayaninya,
semua dihargainya. Misalnya, bila sedang menghadapi banyak tamu, beliau
memberikan perhatian pada mereka semua. Mereka ditanyai satu per satu sehingga
tak ada yang merasa disepelekan. “Yang paling berkesan dari Kiai Hamid adalah
akhlaknya: penghargaannya pada orang, pada ilmu, pada orang alim, pada ulama.
Juga tindak tanduknya,” kata Mantan Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti Ali, yang
pernah menjadi junior sekaligus anak didiknya di Pesantren Tremas.
Beliau sangat menghormat pada ulama dan habaib. Di depan
mereka, sikap beliau layaknya sikap seorang santri kepada kiainya. Bila mereka
bertandang ke rumahnya, beliau sibuk melayani. Misalnya, ketika Sayid Muhammad
ibn Alwi Al-Maliki, seorang ulama kondang Mekah (yang baru saja wafat),
bertamu, beliau sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya bercakap
sambil memijatinya. Padahal tamunya itu lebih muda usia.
Sikap tawadhu’ itulah, antara lain, rahasia “keberhasilan”
beliau. Karena sikap ini beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan, dari
orang biasa sampai tokoh. Para kiai tidak merasa tersaingi, bahkan menaruh
hormat ketika melihat sikap tawadhu’ beliau yang tulus, yang tidak dibuat-buat.
Derajat beliau pun meningkat, baik di mata Allah maupun di mata manusia. Ini
sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w., “Barangsiapa bersikap tawadhu’, Allah
akan mengangkatnya.”
Sabar
Beliau sangat penyabar, sementara pembawaan beliau halus sekali. Sebenarnya, di balik kehalusan itu tersimpan sikap keras dan temperamental. Hanya berkat riyadhah (latihan) yang panjang, beliau berhasil meredam sifat cepat marah itu dan menggantinya dengan sifat sabar luar biasa. Riyadhah telah memberi beliau kekuatan nan hebat untuk mengendalikan amarah.
Beliau sangat penyabar, sementara pembawaan beliau halus sekali. Sebenarnya, di balik kehalusan itu tersimpan sikap keras dan temperamental. Hanya berkat riyadhah (latihan) yang panjang, beliau berhasil meredam sifat cepat marah itu dan menggantinya dengan sifat sabar luar biasa. Riyadhah telah memberi beliau kekuatan nan hebat untuk mengendalikan amarah.
Beliau, misalnya, dapat menahan amarah ketika disorongkan
oleh seorang santri hingga hampir terjatuh. Padahal, santri itu telah melanggar
aturan pondok, yaitu tidak tidur hingga lewat pukul 9 malam. Waktu itu hari
sudah larut malam. Beliau disorongkan karena dikira seorang santri. “Sudah
malam, ayo tidur, jangan sampai ketinggalan salat subuh berjamaah,” kata beliau
dengan suara halus sekali.
Beliau juga tidak marah mendapati buah-buahan di kebun
beliau habis dicuri para santri dan ayam-ayam ternak beliau ludes dipotong
mereka. “Pokoknya, barang-barang di sini kalau ada yang mengambil (makan),
berarti bukan rezeki kita,” kata beliau.
Pada saat-saat awal beliau memimpin Pondok Salafiyah, seorang tetangga sering melempari rumah beliau. Ketika tetangga itu punya hajat, beliau menyuruh seorang santri membawa beras dan daging ke rumah orang tersebut. Tentu saja orang itu kaget, dan sejak itu kapok, tidak mau mengulangi perbuatan usilnya tadi.
Pada saat-saat awal beliau memimpin Pondok Salafiyah, seorang tetangga sering melempari rumah beliau. Ketika tetangga itu punya hajat, beliau menyuruh seorang santri membawa beras dan daging ke rumah orang tersebut. Tentu saja orang itu kaget, dan sejak itu kapok, tidak mau mengulangi perbuatan usilnya tadi.
Beliau juga tidak marah ketika seorang yang hasud mencuri
daun pintu yang sudah dipasang pada bangunan baru di pondok.
Penyakit Hati
Melalui riyadhah dan mujahadah (memerangi hawa nafsu) yang
panjang, beliau telah berhasil membersihkan hati beliau dari berbagai penyakit.
Tidak hanya penyakit takabur dan amarah, tapi juga penyakit lainnya. Beliau
sudah berhasil menghalau rasa iri dan dengki. Beliau sering mengarahkan orang
untuk bertanya kepada kiai lain mengenai masalah tertentu. “Sampeyan tanya saja
kepada Kiai Ghofur, beliau ahlinya,” kata beliau kepada seorang yang bertanya
masalah fiqih. Beliau pernah marah kepada rombongan tamu yang telah jauh-jauh
datang ke tempat beliau, dan mengabaikan kiai di kampung mereka. Beliau tak
segan “memberikan” sejumlah santrinya kepada KH. Abdur Rahman, yang tinggal di
sebelah rumahnya, dan kepada Ustaz Sholeh, keponakannya yang mengasuh Pondok
Pesantren Hidayatus Salafiyah.
Bergunjing
Menghilangkan rasa takabur memang sangat sulit. Terutama
bagi orang yang memiliki kelebihan ilmu dan pengaruh. Ada yang tak kalah
sulitnya untuk dihapus, yaitu kebiasaan menggunjing orang lain. Bahkan para
kiai yang memiliki derajat tinggi pun umumnya tak lepas dari penyakit ini.
Apakah menggunjing kiai saingannya atau orang lain. Kiai Hamid, menurut
pengakuan banyak pihak, tak pernah melakukan hal ini. Kalau ada orang yang
hendak bergunjing di depan beliau, beliau menyingkir. Sampai KH. Ali Ma’shum
berkata, “Wali itu ya Kiai Hamid itulah. Beliau tidak mau menggunjing
(ngrasani) orang lain.”
Manusia Biasa
Kiai Hamid, seperti para wali lainnya, adalah tiang
penyangga masyarakatnya. Tidak hanya di Pasuruan tapi juga di tempat-tempat
lain. Beliau adalah sokoguru moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin
(untuk melihat borok-borok diri), beliau adalah teladan, beliau adalah panutan.
Beliau dipuja, di mana-mana dirubung orang, ke mana-mana dikejar orang
(walaupun beliau sendiri tidak suka, bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan
beliau).
Bagaimanapun beliau manusia biasa (Rasulullah pun manusia
biasa), yang harus merasakan kematian. Sabtu 9 Rabiul Awal 1403 H, bertepatan
dengan 25 Desember 1982 M, menjadi awal berkabung panjang bagi msyarakat muslim
Pasuruan, dan muslim di tempat lain. Hari itu, saat ayam belum berkokok, hujan
tangis memecah kesunyian di rumah dalam kompleks Pesantren Salafiyah. Setelah
jatuh anfal beberapa hari sebelumnya dan sempat dirawat di Rumah Sakit Islam
(RSI) Surabaya karena penyakit jantung yang akut, beliau menghembuskan nafas
terakhir. Inna lillahi wa inna lillahi raji’un.
Umat pun menangis. Pasuruan seakan terhenti, bisu, oleh duka
yang dalam. Puluhan, bahkan ratusan ribu orang berduyun-duyun membanjiri
Pasuruan. Memenuhi relung-relung Masjid Agung Al-Anwar dan alun-alun kota,
memadati gang-gang dan ruas-ruas jalan yang membentang di depannya. Mereka,
dalam gerak serentak, di bawah komando seorang imam, KH. Ali Ma’shum
Jogjakarta, mengangkat tangan “Allahu Akbar” empat kali dalam salat janazah
yang kolosal. Allahumma ighfir lahu warhamhu, ya Allah ampunilah dosanya dan
rahmatilah dia.
Hamid Ahmad
Hamid Ahmad
Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914
atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa
Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem.
Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau
hingga remaja, sebelum berganti menjadi AbdulHamid.
Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi,
seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.
Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert,
dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik
sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang
sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah
kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang
kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya
adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania
alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena
banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan
sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum
Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.
Kiai Hamid Pasuruan:
Kini Sulit Dicari Padanannya
Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi Abdul Hamid.
Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi Abdul Hamid.
Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi,
seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.
Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert,
dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik
sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang
sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah
kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang
kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya
adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania
alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena
banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan
sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum
Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.
Ketika mulai beranjak remaja (ABG), dia mulai gemar belajar
kanoragan (semacam ilmu kesaktian). Belajarnya cukup intensif sehingga mencapai
taraf ilmu yang cukup tinggi. “Sampai bisa menangkap babi jadi-jadian,” tutur
KH. Zaki Ubaid Pasuruan.
Meski begitu, sejak kecil ia sudah menunjukkan tanda-tanda
bakal menjadi wali atau, setidaknya, orang besar. Ketika diajak kakeknya, KH.
Muhammad Shiddiq (Jember), pergi haji, Mu’thi bertemu dengan Rasulullah s.a.w.
Pada saat haji itulah namanya diganti menjadi Abdul Hamid.
Dipondokkan
Pada usia sekitar 12-13 tahun, Hamid dikirim ayahandanya,
K.H. Abdullah Umar, ke Pondok Kasingan, Rembang. Maksud ayahandanya, untuk meredam
kenakalannya. Dia tidak lama di pondok ini. Satu atau satu setengah tahun
kemudian dia pindah ke Pondok Tremas, Pacitan. Pondok pimpinan KH. Dimyathi ini
cukup besar dan berwibawa. Dari pondok ini terlahir banyak kiai besar. Di
antaranya adalah KH. Ali Ma’shum Jogjakarta (mantan rais am PB NU), KH. Masduqi
Lasem, KH. Abdul Ghofur Pasuruan, KH. Harun Banyuwangi, dan masih banyak lagi.
Walaupun kegemarannya bermain sepak bola masih berlanjut, di
pesantren ini beliau mulai mendapat gemblengan ilmu yang sebenarnya. Uang
kiriman orangtua yang hanya cukup untuk dipakai makan nasi thiwul tidak
membuatnya patah arang. Dia tetap betah tinggal di sana sampai 12 tahun, hingga
mencapai taraf keilmuan yang tinggi di berbagai bidang.
Tidak Suka Dipuja
Setelah 12 tahun belajar agama di Pondok Tremas, tokoh kita
itu dipinang oleh pamandanya, KH. Achmad Qusyairi, untuk dikawinkan dengan
putrinya, Nafisah.
Konon, Kiai Achmad pernah menerima pesan dari ayahandanya, KH. Muhammad Shiddiq, supaya mengambil Hamid sebagai menantu mengingat keistimewaan-keistimewaan yang tampak pada pemuda tersebut. Antara lain, saat pergi haji dulu, dia bisa berjumpa dengan Rasulullah s.a.w. Sayang, sang kakek tak sempat melihat pernikahan itu karena lebih dulu dipanggil Sang Mahakuasa.
Konon, Kiai Achmad pernah menerima pesan dari ayahandanya, KH. Muhammad Shiddiq, supaya mengambil Hamid sebagai menantu mengingat keistimewaan-keistimewaan yang tampak pada pemuda tersebut. Antara lain, saat pergi haji dulu, dia bisa berjumpa dengan Rasulullah s.a.w. Sayang, sang kakek tak sempat melihat pernikahan itu karena lebih dulu dipanggil Sang Mahakuasa.
Seperti disebut dalam surat undangan, akad nikah akan
dilangsungkan pada 12 September 1940 M, bertepatan dengan 9 Sya’ban 1359 H,
selepas zhuhur pukul 1 di Masjid Jami’ (sekarang Masjid Agung Al-Anwar)
Pasuruan. Namun, rencana tinggal rencana. Pada waktu yang ditentukan, para
undangan sudah berkumpul di Masjid Jami’, namun rombongan penganten pria tak
kunjung muncul hingga jam menunjuk pukul 2. Terpaksa acara melompat ke sesi
berikutnya, yaitu walimah di rumah Kiai Achmad Qusyairi di Kebonsari, di
kompleks Pesantren Salafiyah.
Di sana kembali orang-orang dibuat menunggu. Ternyata,
rombongan penganten pria baru datang sore hari, setelah acara walimah rampung
dan para undangan pulang semua. “Anu, penganten kuajak mampir ke makam (para
wali),” kata Kiai Ma’shum, yang dipercaya menjadi kepala rombongan. Apa boleh
buat, akad nikah pun dilangsungkan tanpa kehadiran undangan, dan hanya
disaksikan para handai tolan.
Sejak itu, Haji Abdul Hamid tinggal di rumah mertuanya. Lima
atau enam tahun kemudian, Kiai Achmad pindah ke Jember, lalu pindah ke
Glenmore, Banyuwangi. Tinggallah kini Kiai Hamid bersama istrinya harus
berjuang secara mandiri mengarungi samudera kehidupan dalam biduk rumah tangga
yang baru mereka bina. Untuk menghidupi diri dan keluarga, Kiai Hamid berusaha
apa saja. Dari jual beli sepeda, berdagang kelapa dan kedelai sampai menyewa
sawah dan berdagang spare part dokar.
Prihatin
Hari-hari mereka adalah hari-hari penuh keprihatinan. Makan
nasi dengan krupuk atau tempe panggang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari.
Terkadang, sarung yang sudah menerawang (karena usang) masih dipakai (dengan
dilapisi kain serban supaya warna kulitnya tidak kelihatan). Tapi, Kiai Hamid
tak kenal putus asa, terus berusaha dan berusaha.
Kala itu beliau belum terlibat dalam kegiatan Pesantren
Salafiyah, meski tinggal di kompleks pesantren. Di tengah hidup prihatin itu,
beliau mulai punya santri — dua orang — yang ditempatkan di sebuah gubuk di
halaman rumah. Beliau juga mulai menggelar pengajian di berbagai desa di
kabupaten Pasuruan: Rejoso, Ranggeh dan lain-lain.
Sekitar 1951, sepeninggal KH. Abdullah ibn Yasin yang jadi
nazhir (pengasuh) Pondok Salafiyah, beliau dipercaya sebagai guru besar pondok,
sementara KH. Aqib Yasin, adik Kiai Abdullah, menjadi nazhir. Meski demikian,
secara de facto, beliaulah yang memangku pondok itu, mengurusi segala tetek
bengek sehari-hari, day to day karena Kiai Aqib yang muda itu, masih belajar di
Lasem.
Fenomenal
Kiai Hamid benar-benar berangkat dari titik nol dalam
membina Pondok Salafiyah. Sebab, saat itu tidak ada santri. Para santri
sebelumnya tidak tahan dengan disiplin tinggi yang diterapkan Kiai Abdullah.
Walaupun tak ada promosi, satu demi satu santri mulai
berdatangan. Prosesnya sungguh natural, tanpa rekayasa. Perkembangannya memang
tidak bisa dibilang melesat cepat, tapi gerak itu pasti. Terus bergerak dan
bergerak hingga kamar-kamar yang ada tidak mencukupi untuk para santri dan
harus dibangun yang baru; hingga jumlah santrinya mencapai ratusan orang,
memenuhi ruang-ruang pondok yang lahannya tak bisa diperluas lagi karena
terhimpit rumah-rumah penduduk; hingga pada akhirnya, terdorong oleh
perkembangan zaman, fasilitas baru pun perlu disediakan, yaitu madrasah
klasikal.
Perkembangan fenomenal terjadi pada pribadi beliau. Dari
semula hanya dipanggil “haji” lalu diakui sebagai “kiai”, pengakuan masyarakat
semakin membesar dan membesar. Tamunya semakin lama semakin banyak. Terutama
setelah wafatnya Habib Ja’far As-Segaf (wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang
jadi guru spiritualnya) sekitar 1954, sinarnya semakin membesar dan membesar.
Kiai Hamid sendiri mulai diakui sebagai wali beberapa tahun kemudian, sekitar
awal 1960-an. Pengakuan akan kewalian itu kian meluas dan meluas, hingga
akhirnya mencapai taraf — meminjam istilah Gus Mus — “muttafaq ‘alaih”
(disepakati semua orang, termasuk di kalangan mereka yang selama ini tak mudah
mengakui kewalian seseorang).
Lurus
Lurus
Ketika Kiai Hamid mulai berkiprah di Pasuruan, tak sedikit
orang yang merasa tersaingi. Terutama ketika beliau menggelar pengajian di kampung-kampung.
Maklumlah, beliau seorang pendatang. Ada kiai setempat yang menuduh beliau
mencari pengaruh, dan menggerogoti santri mereka. Padahal, Kiai Hamid mengajar
di sana atas permintaan penduduk setempat.
Ibarat kata pepatah Jawa “Becik ketitik, ala ketara”, lambat
laun beliau dapat menghapus kesan itu. Bukan dengan rekayasa atau “politik
pencitraan” yang canggih, melainkan dengan perbuatan nyata. Dengan tetap
berjalan lurus, dan terutama dengan sikap tawadhu’, kehadiran beliau akhirnya
dapat diterima sepenuhnya. Bahkan mereka menaruh hormat pada beliau justru
karena sikap tawadhu’ itu.
Beliau memang rendah hati (tawadhu’). Kalau menghadiri suatu
acara, beliau memilih duduk di tempat “orang-orang biasa”, yaitu di belakang,
bukan di depan. “Kiai Hamid selalu ndepis (menyembunyikan diri) di pojok,” kata
Kiai Hasan Abdillah.
Hormat
Beliau bersikap hormat pada siapapun. Dari yang miskin
sampai yang kaya, dari yang jelata sampai yang berpangkat, semua dilayaninya,
semua dihargainya. Misalnya, bila sedang menghadapi banyak tamu, beliau
memberikan perhatian pada mereka semua. Mereka ditanyai satu per satu sehingga
tak ada yang merasa disepelekan. “Yang paling berkesan dari Kiai Hamid adalah
akhlaknya: penghargaannya pada orang, pada ilmu, pada orang alim, pada ulama.
Juga tindak tanduknya,” kata Mantan Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti Ali, yang
pernah menjadi junior sekaligus anak didiknya di Pesantren Tremas.
Beliau sangat menghormat pada ulama dan habaib. Di depan
mereka, sikap beliau layaknya sikap seorang santri kepada kiainya. Bila mereka
bertandang ke rumahnya, beliau sibuk melayani. Misalnya, ketika Sayid Muhammad
ibn Alwi Al-Maliki, seorang ulama kondang Mekah (yang baru saja wafat),
bertamu, beliau sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya bercakap
sambil memijatinya. Padahal tamunya itu lebih muda usia.
Sikap tawadhu’ itulah, antara lain, rahasia “keberhasilan”
beliau. Karena sikap ini beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan, dari
orang biasa sampai tokoh. Para kiai tidak merasa tersaingi, bahkan menaruh
hormat ketika melihat sikap tawadhu’ beliau yang tulus, yang tidak dibuat-buat.
Derajat beliau pun meningkat, baik di mata Allah maupun di mata manusia. Ini
sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w., “Barangsiapa bersikap tawadhu’, Allah
akan mengangkatnya.”
Sabar
Beliau sangat penyabar, sementara pembawaan beliau halus sekali. Sebenarnya, di balik kehalusan itu tersimpan sikap keras dan temperamental. Hanya berkat riyadhah (latihan) yang panjang, beliau berhasil meredam sifat cepat marah itu dan menggantinya dengan sifat sabar luar biasa. Riyadhah telah memberi beliau kekuatan nan hebat untuk mengendalikan amarah.
Beliau sangat penyabar, sementara pembawaan beliau halus sekali. Sebenarnya, di balik kehalusan itu tersimpan sikap keras dan temperamental. Hanya berkat riyadhah (latihan) yang panjang, beliau berhasil meredam sifat cepat marah itu dan menggantinya dengan sifat sabar luar biasa. Riyadhah telah memberi beliau kekuatan nan hebat untuk mengendalikan amarah.
Beliau, misalnya, dapat menahan amarah ketika disorongkan
oleh seorang santri hingga hampir terjatuh. Padahal, santri itu telah melanggar
aturan pondok, yaitu tidak tidur hingga lewat pukul 9 malam. Waktu itu hari
sudah larut malam. Beliau disorongkan karena dikira seorang santri. “Sudah
malam, ayo tidur, jangan sampai ketinggalan salat subuh berjamaah,” kata beliau
dengan suara halus sekali.
Beliau juga tidak marah mendapati buah-buahan di kebun
beliau habis dicuri para santri dan ayam-ayam ternak beliau ludes dipotong
mereka. “Pokoknya, barang-barang di sini kalau ada yang mengambil (makan),
berarti bukan rezeki kita,” kata beliau.
Pada saat-saat awal beliau memimpin Pondok Salafiyah, seorang tetangga sering melempari rumah beliau. Ketika tetangga itu punya hajat, beliau menyuruh seorang santri membawa beras dan daging ke rumah orang tersebut. Tentu saja orang itu kaget, dan sejak itu kapok, tidak mau mengulangi perbuatan usilnya tadi.
Pada saat-saat awal beliau memimpin Pondok Salafiyah, seorang tetangga sering melempari rumah beliau. Ketika tetangga itu punya hajat, beliau menyuruh seorang santri membawa beras dan daging ke rumah orang tersebut. Tentu saja orang itu kaget, dan sejak itu kapok, tidak mau mengulangi perbuatan usilnya tadi.
Beliau juga tidak marah ketika seorang yang hasud mencuri
daun pintu yang sudah dipasang pada bangunan baru di pondok.
Penyakit Hati
Melalui riyadhah dan mujahadah (memerangi hawa nafsu) yang
panjang, beliau telah berhasil membersihkan hati beliau dari berbagai penyakit.
Tidak hanya penyakit takabur dan amarah, tapi juga penyakit lainnya. Beliau
sudah berhasil menghalau rasa iri dan dengki. Beliau sering mengarahkan orang
untuk bertanya kepada kiai lain mengenai masalah tertentu. “Sampeyan tanya saja
kepada Kiai Ghofur, beliau ahlinya,” kata beliau kepada seorang yang bertanya
masalah fiqih. Beliau pernah marah kepada rombongan tamu yang telah jauh-jauh
datang ke tempat beliau, dan mengabaikan kiai di kampung mereka. Beliau tak
segan “memberikan” sejumlah santrinya kepada KH. Abdur Rahman, yang tinggal di
sebelah rumahnya, dan kepada Ustaz Sholeh, keponakannya yang mengasuh Pondok
Pesantren Hidayatus Salafiyah.
Bergunjing
Menghilangkan rasa takabur memang sangat sulit. Terutama
bagi orang yang memiliki kelebihan ilmu dan pengaruh. Ada yang tak kalah
sulitnya untuk dihapus, yaitu kebiasaan menggunjing orang lain. Bahkan para
kiai yang memiliki derajat tinggi pun umumnya tak lepas dari penyakit ini.
Apakah menggunjing kiai saingannya atau orang lain. Kiai Hamid, menurut
pengakuan banyak pihak, tak pernah melakukan hal ini. Kalau ada orang yang
hendak bergunjing di depan beliau, beliau menyingkir. Sampai KH. Ali Ma’shum
berkata, “Wali itu ya Kiai Hamid itulah. Beliau tidak mau menggunjing
(ngrasani) orang lain.”
Manusia Biasa
Kiai Hamid, seperti para wali lainnya, adalah tiang
penyangga masyarakatnya. Tidak hanya di Pasuruan tapi juga di tempat-tempat
lain. Beliau adalah sokoguru moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin
(untuk melihat borok-borok diri), beliau adalah teladan, beliau adalah panutan.
Beliau dipuja, di mana-mana dirubung orang, ke mana-mana dikejar orang
(walaupun beliau sendiri tidak suka, bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan
beliau).
Bagaimanapun beliau manusia biasa (Rasulullah pun manusia
biasa), yang harus merasakan kematian. Sabtu 9 Rabiul Awal 1403 H, bertepatan
dengan 25 Desember 1982 M, menjadi awal berkabung panjang bagi msyarakat muslim
Pasuruan, dan muslim di tempat lain. Hari itu, saat ayam belum berkokok, hujan
tangis memecah kesunyian di rumah dalam kompleks Pesantren Salafiyah. Setelah
jatuh anfal beberapa hari sebelumnya dan sempat dirawat di Rumah Sakit Islam
(RSI) Surabaya karena penyakit jantung yang akut, beliau menghembuskan nafas
terakhir. Inna lillahi wa inna lillahi raji’un.
Umat pun menangis. Pasuruan seakan terhenti, bisu, oleh duka
yang dalam. Puluhan, bahkan ratusan ribu orang berduyun-duyun membanjiri
Pasuruan. Memenuhi relung-relung Masjid Agung Al-Anwar dan alun-alun kota,
memadati gang-gang dan ruas-ruas jalan yang membentang di depannya. Mereka,
dalam gerak serentak, di bawah komando seorang imam, KH. Ali Ma’shum
Jogjakarta, mengangkat tangan “Allahu Akbar” empat kali dalam salat janazah
yang kolosal. Allahumma ighfir lahu warhamhu, ya Allah ampunilah dosanya dan
rahmatilah dia.
Hamid Ahmad
KH. Hamid Pasuruan
Hamid Ahmad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar