K.H. Ali Ma’shum dilahirkan di Lasem kota mana
terletak di pesisir utara pulau Jawa masuk wilayah kabupaten Rembang Jawa
Tengah. Ia lahir pada 2 Maret 1915 dari buah pernikahan K.H. Ma’shum dan Ny.
Nuriyah. Kedua orang tuanya merupakan figur dan tokoh agama kharismatik yang
selain disegani juga menjadi tempat pengaduan persoalan hidup masyarakat
kebanyakan. (Muhdlor, 1989: 4)
Kyai Ali [kecil] lahir di tengah gencarnya kaum
pembaharu melakukan serangan terhadap peranan pondok pesantren yang identik
dengan institusi pendidikan tradisional. Kendati demikian, ayahnya tidak
mengarahkan Kyai Ali untuk menjauhi pesantren. Bahkan ia dididik agar semakin
mencintai pesantren. Maklum, ayahnya sendiri merupakan produk pesantren. Kakeknya,
K.H. Ahmad Abdul Karim, juga demikian. Sehingga nyaris riwayat pendidikan Kyai
Ali, juga seluruh saudaranya, tidak pernah mengenyam pendidikan formal, baik
yang didirikan oleh Belanda, Jepang atau kelompok masyarakat Indonesia sendiri.
(Muhdlor, 1989: 5)
Di bawah asuhan langsung ayahnya, Kyai Ali
menerima pendidikan. Semula, ayahnya menghendaki Kyai Ali menjadi seorang ahli
ilmu Fiqih. Karenanya, setiap hari Kyai Ali selalu diajari kitab-kitab fiqih.
Namun kecenderungannya ternyata berseberangan dengan keinginan ayahnya. Kyai
Ali justru lebih senang mempelajari kitab-kitab nahwu dan sharaf.
Setelah beranjak remaja, Kyai Ali dikirim
ayahnya untuk berguru kepada K.H. Dimyathi Tremas pada tahun 1927. Di Tremas,
selama tiga tahun tidak pernah pulang sekalipun ke Lasem. Hal ini dilakukan
Kyai Ali untuk membuktikan tradisi bahwa seorang santri yang selama tiga tahun
pertama sejak kedatangannya tidak pulang kampung merupakan pertanda kesuksesan
mencari ilmu dan kelak akan menjadi ulama besar.
Di Tremas, Kyai Ali mempelajari banyak kitab
kuning. Di antaranya Fathul Mu’in, Tafsir Jalalain, Alfiyah ibn Malik,
Minhajul Qawim dan Sahih Bukhari Muslim. Meski awalnya Kyai Ali
ingin menghuni pondokan sebagaimana santri pada umumnya namun atas perintah
K.H. Dimyathi, ia disuruh tinggal di ndalem. Akhirnya Kyai Ali tinggal
sekamar dengan Gus Muhammad, putra K.H. Mahfudz al-Tarmasyi kakak K.H.
Dimyathi.
Kyai Ali memang cerdas dan cepat menguasai
materi-materi pelajaran yang diajarkan padanya. Karena itulah oleh K.H. Dimyathi,
Kyai Ali dipercaya untuk ikut membantu mengajar para santri. Dari sinilah karir
intelektualitas dan popularitas Kyai Ali perlahan-lahan menanjak. Ia disegani
tidak hanya karena putra dari seorang ulama besar dan kharismatik, tetapi
lebih-lebih karena kekuatan pribadi dan pengusaan ilmunya yang luas.
Bakat-bakat keulamaan sudah mulai tampak dari sini. (Muhdlor, 1989: 9)
Hal ini terlihat dari semangat membaca yang
begitu menggelora. Kyai Ali tidak saja membaca kitab-kitab yang diajarkan
kyainya atau kitab-kitab klasik karya ulama salaf, kitab-kitab para
pembaharupun habis dilahapnya. Misalnya, Tafsir al-Manar karya Rasyid
Ridla, Tafsir al-Maragi karya Musthafa al-Maraghi dan Fatawa Ibn
Taimiyyah karya ibn Taimiyyah. (Muhdlor, 1989: 10) Kitab-kitab yang “masih
asing” di dunia pesantren itu diperoleh Kyai Ali, di antaranya, dari
murid-murid ayahnya, juga dari keluarga besar Tremas yang datang dari Mekah.
Kegemaran membaca ini menjadikan Kyai Ali
sebagai seorang pemuda yang meski masih belia namun memiliki wawasan
pengetahuan yang menua. Di antara sekian banyak ilmu yang dipelajari, agaknya
ilmu Tafsir al-Qur’an dan ilmu Bahasa Arab sangat menyita perhatiannya. Fakta
inilah yang kelak mengantarkan Kyai Ali tersohor di antara sedikit ilmuwan
Indonesia yang fasih dan kompeten di bidang bahasa Arab. Sehingga banyak orang
menyebut Kyai Ali sebagai “Munjid berjalan.”
Pada tahun 1932 di Tremas didirikan sebuah
madrasah yang sebelumnya merupakan hal tabu di pesantren. Selain Gus Hamid
Dimyathi, salah satu putra K.H. Dimyathi, Kyai Ali disebut-sebut juga sebagai
pelopor modernisasi pesantren Tremas tersebut. Kendati berat hati akhirnya K.H.
Dimyathi merestui berdirinya madrasah di pesantren Tremas. (Muhdlor, 1989: 11)
Keberanian Kyai Ali menyuntikkan perubahan menjadi poin tersendiri bagi
kepribadiannya. Ke depan, Kyai Ali memang identik dengan seorang yang selalu
gelisah dan tampil dengan ide-ide pembaruan yang segar. Setelah delapan tahun
di Tremas, Kyai Ali berpamitan untuk kembali ke Lasem. Madrasah diserahkan kepada
Gus Hamid Dimyathi saat menggantikan ayahnya, K.H. Dimyathi, yang wafat dua
tahun setelah madrasah didirikan, tahun 1934.
Sekembalinya ke Lasem, Kyai
Ali mencurahkan segenap tenaga untuk membantu mengajar di pesantren ayahnya. Di
samping mengajar beberapa disiplin ilmu, Kyai
Ali sangat intens mengajarkan bahasa Arab dan
Tafsir al-Qur’an. Ali membawa angin segar bagi pembaruan di pesantren Lasem
tersebut. Pada tahun 1938 Kyai Ali menyunting Hasyimah puteri ulama masyhur di
bidang al-Qur’an, K.H. Munawir, dari Krapyak Yogyakarta. (Muhdlor, 1989: 15)
Hanya berselang beberapa hari saat mereguk manisnya malam pengantin baru, Kyai
Ali ditawari seorang dermawan bernama H. Djunaid untuk menunaikan haji ke
Mekah. Walaupun dengan berat hati, kesempatan emas itu tidak ia sia-siakan.
Selain menunaikan haji, di Mekah Kyai Ali juga
berguru kepada ulama-ulama besar di sana semisal Sayyid Alwi al-Maliki dan
Sayyid Umar Hamdan. Di Mekah ia mendalami disiplin ilmu Hadis sekaligus
memfasihkan bahasa Arabnya. Kyai Ali hanya dua tahun di Mekah. (Muhdlor, 1989:
17)
Di Indonesia saat itu situasi amat genting.
Masa-masa transisi penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang serta perlawan bahu
membahu oleh para pejuang untuk merebut kemerdekaan secara tidak langsung
menipiskan animo banyak orang untuk belajar di pesantren. Pesantren asuhan K.H.
Ma’shum di Lasem juga terkena imbasnya. Demikian pula pesantren Krapyak di
bawah kepemimpinan K.H. Munawir. Kyai Ali yang sekembali dari Mekah berjuang
mati-matian menghidupkan pesantren Lasem, akhirnya terpanggil juga untuk
kembali ke Krapyak. Apalagi setelah K.H. Munawir wafat pada 1942, pesantren
Krapyak semakin lengang. Akhirnya Kyai Ali hijrah ke Krapyak untuk
“mengaktifkan” kembali pesantren mertuanya itu.
Langkah pertama yang ditempuh Kyai Ali adalah
mengkader “ahlul bait“ keluarga Krapyak. Mereka adalah Abdul Qadir,
Mufid Mas’ud, Nawawi Abdul Aziz, Dalhar, Zainal Abidin Munawir, Ahmad Munawir
dan Achmad Warson Munawir. Kaderisasi ini dibenarkan oleh K.H. Zainal Abidin
Munawwir, pengasuh pesantren Krapyak sekarang. Kyai Zainal menegaskan bahwa
semasa dididik Kyai Ali dirinya “dipaksa” untuk bisa menguasai kitab-kitab
kuning. Terhadap “ahlul bait”, tambah Kyai Zainal, Kyai Ali dikenal
sangat keras. Hampir tak ada waktu untuk santai. Setiap “ahlul bait” selalu
dipantau perkembangan ilmunya. Dalam pengamatan Kyai Ali membangun potensi
keulamaan keluarga Krapyak patut diutamakan untuk membangkitkan aura kebesaran
pesantren Krapyak di kemudian hari. Dan benar, apa yang dilakukan Kyai Ali
telah menuai hasil yang menggembirakan. “Ahlul bait” yang digemblengnya
di kemudian hari tampil menyemarakkan dinamika kehidupan di pesantren Krapyak.
Bahkan Ahmad Warson Munawir berhasil menerbitkan kamus bahasa Arab al-Munawwir
yang sampai sekarang menjadi kamus standar di dunia pesantren. Putranya
sendiri, Attabik Ali bersama A. Zuhdi Muhdlor juga mampu menghasil kamus bahasa
Arab kontemporer al-Asyri.
Di bawah asuhan Kyai Ali,
pesantren Krapyak berkembang pesat. Perlahan-lahan pesantren Krapyak memiliki
sarana pendidikan yang cukup komplit, yakni Taman Kanak-kanak, Madrasah
Diniyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Takhassus dan Tahfidz al-Qur’an.
Hingga demikian, terjadi keseimbangan antara pengajian al-Qur’an dan pengajian
kitab-kitab kuning. (Muhdlor, 1989: 25) Santri hasil didikannya juga tersebar
di berbagai daerah di Indonesia, bahkan sebagian [pernah] menjadi orang-orang
penting di negeri ini. Keberhasilan Kyai Ali tidak terlepas dari ketelatenannya
“mengawasi” para santri. Semua gerak-gerik santri selalu terpantau oleh Kyai
Ali. Kedekatan dengan para santri menjadi ciri khas Kyai Ali.
Kyai Ali gemar membangunkan santri untuk diajak
shalat tahajud dan subuh secara berjamaah.
Dalam hal pengajian, hampir seluruh waktu Kyai
Ali disediakan untuk mengajar dan mendidik santri. Sore hingga Isya mengajar
santri dengan sistem bandongan. Sistem bandongan dilakukan dengan seorang kyai
membaca kitab sementara para santri menyimak kitab yang sama untuk disyarahi.
Dalam sistem ini yang aktif adalah kyainya. Santri lebih banyak mendengarkan
penjelasan kyai terhadap materi yang dibaca. Jenis kitab yang dibaca Kyai Ali
dengan sistem ini kebanyakan adalah kitab Tafsir, Hadis dan Fiqh. Sedang di
pagi hari setelah subuh mengajar dengan sistem sorogan. Sistem ini kebalikan
dari sistem bandongan. Di sini menuntuk keaktifan santri untuk membaca kitab,
sedangkan kyai tinggal menyimak dan membenarkan jika bacaan tersebut salah.
Sistem ini diyakini keampuhannya dalam membentuk kualitas keilmuan santri sebab
santri dituntut untuk mempersiapkan banyak hal sebelum membaca kitab di
hadapan kyai. Santri juga dilatih memberi penjelasan secara runtut terhadap apa
yang dibaca dalam kitab. Dengan demikian, santri memiliki kesempatan luas untuk
mengeksplorasi potensi keilmuan yang mendekam dalam dirinya. Di samping itu,
Kyai Ali juga kerap menggelar pengajian selapanan (36 hari) yang diikuti oleh
masyarakat umum.
Namun pada akhir Desember
1986, ketika memberi ceramah dalam rangka peringatan haul K.H. Bisri Mustafa di
Rembang, seorang pemuda tiba-tiba menyerang Kyai Ali bertubi-tubi dengan
menggunakan benda tajam. Tak ayal, Kyai Ali pun tersungkur dan segera dilarikan
ke rumah sakit Rembang. Tragis. Setelah peristiwa itu kesehatan Kyai Ali terus
menurun. Hingga ketika Muktamar NU tahun 1987 digelar di pesantren Krapyak,
Kyai Ali hanya sanggup mengikuti dari bilik kamarnya. Dan pada 7 Desember 1989
Kyai Ali meninggal dunia saat menjalani perawatan di RSU Sardjito, Yogyakarta. [
Tidak ada komentar:
Posting Komentar