Di zaman ini, kita melihat berbagai perkara baru telah
ditambahkan ke dalam agama Islam. Baik tambahan itu berupa keyakinan, amalan,
prinsip dan kaidah, atau yang lainnya. Hal ini benar-benar merusak kesucian
Islam dalam urusan agama. Padahal Allâh Ta'âla telah menyempurnakan agama Islam
ini bagi hamba-hamba- Nya, dan ini termasuk nikmat Allâh Ta'âla terbesar. Maka
selayaknya orang-orang Islam meridhai agama Islam ini, sebagaimana Allâh Ta'âla
telah meridhainya. Demikian juga, seharusnya mereka merasa cukup dengan ajaran
agama Islam ini, karena memang Allâh Ta'âla telah menyempurnakan nikmat-Nya.
Dalam rangka mengingatkan kesempurnaan agama Islam –yang
telah kita diketahui bersama– dan mengingatkan konsekuensinya –yang mungkin
banyak dilalaikan oleh sebagian orang–, ada 2 hal pokok yang perlu kita ketahui
bersama:
1.
|
Termasuk prinsip agama yang wajib diyakini, iman seseorang
tidak sah tanpa keyakinan ini, adalah bahwa agama Islam telah disempurnakan
oleh Allâh Ta'âla .
Maka, tugas manusia adalah mempelajari, mendengar dan
mentaati.
Allâh Ta'âla berfirman:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu
dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agamamu. (Qs al-Mâidah/5:3) Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata dalam tafsirnya:
“Ini merupakan nikmat Allâh Ta'âla terbesar kepada umat
ini, yaitu Allâh Ta'âla menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka tidak
membutuhkan agama apapun selainnya, dan mereka tidak membutuhkan seorang
Nabi-pun selain Nabi mereka. Oleh karena inilah Allâh Ta'âla menjadikan
beliau sebagai penutup para Nabi dan (Allâh Ta'âla) mengutus beliau kepada
seluruh manusia dan jin. Tidak ada yang halal kecuali apa yang beliau
halalkan. Tidak ada yang haram kecuali apa yang beliau haramkan. Tidak ada
agama kecuali apa yang beliau syari’atkan. Segala sesuatu yang beliau
beritakan, maka hal itu haq dan benar (sesuai kenyataan), tidak ada kedustaan
padanya dan tidak ada kesalahan”. [1]
|
2.
|
Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam berkewajiban menyampaikan
agama, dan beliau telah melakukannya dengan sebaik-baiknya.
Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam telah menyampaikan
agama Islam dengan sempurna, tanpa dikurangi. Maka, tidaklah beliau wafat
kecuali agama ini telah sempurna, tidak membutuhkan tambahan.
Allâh Ta'âla telah menjadi saksi (surat al-Mâidah ayat 3)
tentang hal ini, demikian juga orang-orang yang beriman. Dan cukuplah Allâh
Ta'âla sebagai saksi.
Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam telah bersabda:
Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun sebelumku
melainkan wajib baginya untuk menunjukkan kebaikan yang dia ketahui kepada umatnya dan memperingatkan keburukan yang dia ketahui kepada mereka. (HR. Muslim no. 1844)
Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam juga bersabda:
Tidaklah aku meninggalkan sesuatu
dari apa yang Allâh perintahkan kepada kamu kecuali aku telah memerintahkannya, dan tidak pula aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allâh Ta'âla larang kepada kamu kecuali aku telah melarangnya.[2] Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam juga bersabda:
Tidaklah tersisa sesuatu pun
yang bisa mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka, melainkan telah dijelaskan kepada kamu.[3] Al-Irbâdh bin Sariyah radhiyallâhu'anhu berkata:
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam memberikan nasehat
kepada kami
dengan nasehat yang menyentuh hati, menjadikan mata bercucuran air mata dan hati bergetar karenanya. Kemudian kami bertanya: ”Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya ini benar-benar nasehat orang yang berpamitan, maka apakah yang engkau wasiatkan kepada kami?” Beliau bersabda: “Aku telah meninggalkan kalian di atas (agama) yang putih (terang, jelas); malamnya seperti siangnya, tidak ada seorang pun menyimpang darinya, melainkan orang yang binasa. Barangsiapa di antara kalian yang hidup setelahku, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang teguh dengan sesuatu yang kalian ketahui dari Sunnahku dan Sunnah para Khulafâur Râshidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah-sunnah tersebutdengan geraham-geraham kalian. Hendaklah kalian taat walaupun kepada budak Habsyi (yang menjadi pemimpinmu), karena seorang Mukmin itu seperti onta yang penurut, kemana ia di bawa, ia tunduk.” [4] |
KONSEKUENSI KESEMPURNAAN ISLAM
Setelah mengetahui dengan pasti kesempurnaan agama Islam
ini, maka di antara konsekuensinya adalah bahwa kita tidak boleh menambahkan
sesuatu pun yang baru dalam agama ini, sebagaimana kita juga tidak boleh
menguranginya. Inilah yang dipahami oleh para Ulama semenjak dahulu. Sebagian
dari perkataan mereka di antaranya:
1.
|
Imam Mâlik bin Anas rahimahullâh berkata:
“Barangsiapa membuat bid’ah (perkara baru) di dalam Islam
dan dia memandangnya sebagai suatu kebaikan, maka, sungguh dia telah
menyangka bahwa Nabi Muhammad mengkhianati risalah (tugas menyampaikan agama)
ini, karena Allâh telah berfirman:
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu
agamamu, telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam
sebagai agamamu."
(Qs al-Mâidah/5:3).
Oleh karena itu, segala sesuatu yang pada hari itu bukan
dari agama, pada hari ini pun juga bukan dari agama”. [5]
|
2.
|
Imam asy-Syâthibi rahimahullâh berkata:
“Sesungguhnya orang yang menganggap baik suatu bid’ah,
secara umum memuat konsekuensi bahwa menurutnya syari’at itu belum sempurna,
sehingga firman Allâh Ta'âla, ”Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu
agamamu”, tidak memiliki nilai makna menurut mereka”.[6]
Maka orang yang demikian adalah orang yang sesat dari
jalan yang lurus.
|
3.
|
Iman asy-Syaukâni rahimahullâh berkata:
“Jika Allâh Ta'âla telah menyempurnakan agama-Nya sebelum
mewafatkan Nabi-Nya, maka apakah perlunya pemikiran/pendapat baru, padahal
Allâh Ta'âla telah menyempurnakan agama-Nya. Jika menurut keyakinan mereka
pemikiran baru itu termasuk agama, maka agama ini menurut mereka belum
sempurna; kecuali dengan pemikiran mereka. Yang berarti bahwa keyakinan
mereka ini membantah al-Qur’ân. Jika itu bukan dari agama, maka apa gunanya
menyibukkan diri dengan perkara yang tidak termasuk agama. Ini adalah argumen
yang sangat kuat dan bukti yang agung. Orang yang membuat pemikiran baru
tidak mungkin membantahnya dengan bantahan apapun selamanya. Maka
jadikanlah ayat yang mulia ini (Qs al-Mâidah ayat 3) pertama kali untuk
menampar wajah ahli ra’yi (pengagung akal), menghinakan mereka, dan
menghancurkan hujjah mereka”.[7]
|
4.
|
Syaikh Muhammad Sulthân Al-Ma’shûmi rahimahullâh
berkata:
“Jalan-jalan agama dan ibadah-ibadah yang benar hanyalah
yang telah dijelaskan oleh Sang Pencipta makhluk lewat lisan Rasul-Nya,
Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam. Maka, barangsiapa menambah atau
menguranginya berarti dia telah menyelisihi Allâh Ta'âla yang Maha Bijaksana,
Maha Mencipta dan Maha Mengetahui, sebab dia meramu obat-obat bagi dirinya
sendiri. Padahal, kemungkinan obat itu malah akan menjadi penyakit, dan
ibadahnya menjadi maksiat tanpa dia sadari. Karena agama ini telah sempurna,
maka barangsiapa menambah ajaran baru dalam agama, berarti dia menyangka
bahwa agama ini kurang (sempurna), lalu dia menyempurnakannya dengan anggapan
baik menurut akalnya yang rusak dan khayalnya yang tidak laku”.[8]
|
SIKAP SALAF TERHADAP PERKARA BARU DALAM AGAMA
Dari uraian di atas menjadi jelaslah bahwa ibadah itu harus
mengikuti dalil dari al-Qur’ân atau Sunnah dengan pemahaman yang benar dari
para Salaf. Oleh karena itu para Salafus Shalih mengingkari cara-cara ibadah
yang tidak dituntunkan; atau perkara-perkara yang ditambahkan di dalam ibadah
yang telah dituntunkan; walaupun manusia menganggapnya sebagai kebaikan. Karena
memang ibadah itu akan diterima dengan dua syarat yaitu ikhlas dan ittibâ’
(mengikuti tuntunan Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam ).
Tentang syarat ikhlas, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi
wasallam bersabda:
Sesungguhnya Allâh tidak akan menerima dari semua jenis
amalan
kecuali yang murni untuk-Nya dan untuk mencari wajah-Nya.[9]
kecuali yang murni untuk-Nya dan untuk mencari wajah-Nya.[9]
Tentang syarat ittibâ’ (mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam), beliau shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami
(agama) ini,
sesuatu yang tidak ada contohnya, maka urusan itu tertolak.
(HR. Bukhâri no. 2697; Muslim no. 1718)
sesuatu yang tidak ada contohnya, maka urusan itu tertolak.
(HR. Bukhâri no. 2697; Muslim no. 1718)
Dalam riwayat lain dengan lafazh:
Barangsiapa melakukan suatu amalan
yang tidak ada padanya tuntunan kami,
maka amalan itu tertolak.
(HR. Muslim no. 1718)
yang tidak ada padanya tuntunan kami,
maka amalan itu tertolak.
(HR. Muslim no. 1718)
Sebagian orang ketika melakukan ibadah bid’ah (ibadah baru yang tidak dituntunkan), lalu diingkari, dia segera menjawab: “Apa sih jeleknya berdzikir”, “Apa sih jeleknya berdoa”, “Apa sih jeleknya membaca al-Qur’ân”, dan semacamnya. Padahal yang diingkari itu bukan masalah berdzikir, berdoa, atau membaca al-Qur’ân. Tetapi yang diingkari adalah tata-cara ibadah mereka di dalam berdzikir, berdoa, atau membaca al-Qur’ân yang menyelisihi Sunnah Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam dan membuat tambahan di dalam agama yang sudah sempurna. Sehingga, ibadah mereka tidak memenuhi syarat ittibâ’, walaupun seandainya mereka ikhlas.
Karenanya, disini disampaikan beberapa sikap Salafus shalih
tentang pengingkaran mereka terhadap berbagai tambahan dalam agama, walaupun
mungkin di zaman sekarang orang menganggapnya sebagai suatu kebaikan.
Namun, sebaik-baik generasi adalah para Sahabat, sehingga pemahaman para
Sahabat itulah yang harus dijadikan rujukan di dalam beragama. Di antara
riwayat tersebut adalah:
1.
|
Kisah Abu Abdurrahmân Abdullâh bin Mas’ûd radhiyallâhu'anhu
Kisah terkenal tentang perbuatan Abdullâh bin Mas‘ûd radhiyallâhu'anhu
yang mendatangi jama’ah dzikir yang berkelompok-kelompok memegang kerikil.
Setiap kelompok dipimpin satu orang. Pemimpin itu memerintahkan:
“Bertakbirlah 100 kali”, mereka pun melakukannya. Dia juga memerintahkan agar
jama’ah bertahlil 100 kali dan bertasbih 100 kali, mereka juga melakukannya.
Maka Abdullâh bin Mas’ûd radhiyallâhu'anhu berkata kepada mereka:
“Apakah ini –yang aku lihat kamu lakukan–?”
Mereka menjawab:
“Wahai Abu Abdurrahmân, ini kerikil. Kami menghitung
takbir, tahlil, dan tasbih dengannya.”
Beliau berkata:
“Hitung saja keburukan-keburukan kamu! Aku menjamin
kebaikan-kebaikan kamu tidak akan disia-siakan sedikit pun. Kasihan kamu,
wahai umat Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam, alangkah cepatnya
kebinasaan kalian! Ini, masih banyak para Sahabat Nabi kamu. Ini, pakaian
beliau belum usang, dan bejana-bejana beliau belum pecah. Demi Allâh yang
jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya kamu berada di atas agama yang
lebih baik dari agama Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam, atau kamu adalah
orang-orang yang membuka pintu kesesatan”.
Mereka berkata:
“Demi Allâh Ta'âla, wahai Abu Abdurrahmân, kami tidak
menghendaki kecuali kebaikan”.
Beliau menjawab:
“Alangkah banyak orang yang menghendaki kebaikan, tetapi
tidak mendapatkannya”. Sesungguhnya Rasulullâh shallallâhu 'alaihi wasallam
telah memberitakan kepada kami:
“Bahwa ada sekelompok orang yang membaca al-Qur’ân,
namun al-Qur’ân tidak melewati tenggorokan mereka”. “Demi Allah, aku tidak tahu, kemungkinan mayoritas mereka itu adalah dari kamu”.
Kemudian Ibnu Mas`ud radhiyallâhu'anhu meninggalkan
mereka. [10]
|
2.
|
Kisah Abdullah bin ‘Umar radhiyallâhu'anhu
Nâfi’ Maula Ibnu ‘Umar radhiyallâhu'anhu bercerita:
Bahwa seorang laki-laki bersin di samping Ibnu ‘Umar
radhiyallâhu'anhu, lalu dia berkata: “Alhamdulillâh wassalâmu ‘ala rasûlillâh”! Ibnu ‘Umar radhiyallâhu'anhu berkata: “Aku katakan, Alhamdulillâh wassalâmu ‘ala rasûlillâh, bukan begini yang diajarkan oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Beliau telah mengajari kita untuk mengucapkan: “Alhamdulillâh ‘ala kulli hâl”. [11] |
3.
|
Sa’îd bin Al-Musayyib rahimahullâh
Abu Rabah, seorang lelaki tua dari keluarga ‘Umar radhiyallâhu'anhu
berkata:
Sa’îd bin Al-Musayyib melihat seorang laki-laki
melakukan shalat dua raka’at setelah Ashar; dan dia sering melakukannya. Maka beliau melarangnya. Laki-laki itu berkata: “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan menyiksaku karena shalat?” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi Dia akan menyiksamu karena menyelisihi Sunnah (tuntunan Nabi)”. [12] Setelah membawakan riwayat ini, Syaikh al-Albâni rahimahullâh berkata:
“Ini termasuk jawaban-jawaban Sa’îd bin Al-Musayyib
rahimahullâh yang mengagumkan. Merupakan senjata yang kuat untuk melawan para
pelaku bid’ah, orang-orang yang menganggap baik banyak dari perkara-perkara
bid’ah dengan sebutan bahwa itu adalah dzikir dan shalat!!
Kemudian mereka mengingkari ahlus sunnah yang telah
mengingkari bid’ah mereka itu. Mereka menuduh Ahlus sunnah mengingkari dzikir
dan shalat!! Sedangkan sebenarnya, Ahlus sunnah itu hanyalah mengingkari ahli
bid’ah yang menyelisihi sunnah di dalam dzikir, shalat dan semacamnya”.[13]
|
4.
|
Imam Mâlik bin Anas rahimahullâh
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullâh berkata:
“Imam Malik rahimahullâh didatangi seorang lelaki, lalu
bertanya:
“Wahai Abu ‘Abdillâh, dari mana aku berihram?”
Beliau menjawab:
“Dari Dzul Hulaifah, tempat Rasûlullâh shallallâhu
'alaihi wasallam dahulu berihram”.
Lelaki tadi berkata:
“Aku ingin berihram dari masjid di dekat kubur”.
Imam Mâlik rahimahullâh berkata:
“Jangan engkau lakukan, aku khawatir musibah akan
menimpamu”.
Dia menjawab:
“Musibah apa tentang ini?”
Imam Mâlik rahimahullâh berkata:
“Musibah mana yang lebih besar dari anggapanmu bahwa
engkau meraih keutamaan yang Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam tidak
dapat meraihnya? Sesungguhnya aku mendengar Allâh Ta'âla berfirman:
Maka hendaklah orang-orang yang
menyalahi perintah-nya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (Qs an-Nûr/24:63)[14] |
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas kita mengetahui bahwa agama Islam
ini telah dinyatakan sempurna oleh Allâh Ta'âla dan Rasul-Nya. Demikian juga
diakui oleh para Sahabat Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam dan para Ulama
setelah mereka. Maka, segala macam tambahan dan perkara baru di dalam agama ini
adalah tertolak. Karena setelah jelas al-haq, semua yang bertentangan dengannya
adalah kebatilan. Semoga Allâh Ta'âla selalu menganugerahkan kepada kita
keikhlasan di dalam niat dan kebenaran dengan mengikuti Sunnah. Amin.
Tafsir Al-Qur’ânil ‘Azhîm, karya Imam Ibnu Katsîr surat
al-Mâidah ayat 3
|
|
Hadits Shahîh dengan seluruh jalur riwayatnya. Riwayat
Syâfi’i, al-Baihaqi, al-Khathib al-Baghdâdi, dan lainnya. Dishahîhkan oleh
Syaikh al-Albâni di dalam Silsilah ash-Shahîhah 4/416-417 dan Syaikh Ahmad
Syâkir dalam Ta’lîqur-Risâlah, hlm. 93-103.
Dinukil dari Al-Bid’ah Wa Atsaruha As-Sayyi’ Fil Ummah, hlm 25 |
|
Hadits Shahîh. Lihat penjelasannya di dalam Ar-Risâlah
karya Imam Syâfi’i, hal 93 Ta’lîq Syaikh Ahmad Syâkir. Dinukil dari ‘Ilmu
Ushûlil Bida’, hlm 19.
|
|
Hadits Shahîh. Riwayat Ibnu Mâjah no. 43; Ahmad 4/126; dan
Ibnu Abi ‘Ashim no. 48, 49.
|
|
Kitab Al-I’tishâm, juz: 2, hal: 64, karya Imam Asy-Syâtibi
|
|
Kitab Al-I’tishâm, juz: 1, hal: 111, karya Imam
Asy-Syâtibi
|
|
Al-Qaulul Mufîd, hal. 38
|
|
Miftâhul Jannah, Lâ ilâha illallâh, hal. 58
|
|
HR. Nasâi, no 3140; Lihat: Silsilah Ash-Shahîhah, no. 52;
Ahkâmul Janâiz, hal. 63
|
|
Hadits Shahîh Riwayat Ad-Dârimi di dalam Sunannya, juz 1,
hlm. 68-69, no. 206; dan Bahsyal di dalam Târîkh Wasith, hlm. 198-199. Lihat:
Al-Bid’ah, hlm. 43-44; Ilmu Ushûl Bida’, hlm. 92
|
|
Hadits Hasan Riwayat Tirmidzi, no. 2738; dll. Lihat Ilmu
Ushûl Bida’, hlm. 71
|
|
Riwayat Shahîh. Diriwayatkan oleh Darimi, juz 1, hlm. 116,
no. 437, dll. Lihat Ilmu Ushul Bida’, hlm. 71
|
|
Irwâul Ghalîl, juz. 2, hlm. 236
|
|
Riwayat Al-Khathib di dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih, juz.
1, hlm. 148; dll. Lihat ‘Ilmu Ushul Bida’, hlm. 72
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar